Laman


Rabu, 12 Oktober 2011

*Dimana Salahnya? ** *

Diposting oleh Yasmin pukul 13.59
Semoga termotivasi untuk tidak sembarang kasih obat kloo hanya batpil
-------------------------------------------------------------------------------------------------
dikutip dari buku "Smart Patient" karya dr. Agnes Tri Harjaningrum)

 
Malik tergolek lemas. Matanya sayu. Bibirnya pecah-pecah. Wajahnya kian tirus. Di mataku ia berubah seperti anak dua tahun kurang gizi. Kini tersenyum pun ia tak mau. Sesekali ia muntah. Dan setiap melihatnya muntah, hatiku tergores-gores rasanya. Lambungnya diperas habis-habisan seumpama ampas kelapa yang tak lagi bisa mengeluarkan santan. Pedih sekali melihatnya terkaing-kaing seperti itu.

Waktu itu, belum sebulan aku tinggal di Belanda, dan putraku Malik terkena demam tinggi. Setelah tiga hari tak juga ada perbaikan aku membawanya ke *huisart* (dokter keluarga) kami, dokter Knol namanya.


* "Just wait and see. Don’t forget to drink a lot. Mostly this is a viral infection." * kata dokter tua itu. "*Ha? Just wait and see?* Apa dia nggak liat anakku *dying* begitu?" batinku meradang. *Ya…ya…aku tahu sih masih sulit untuk **menentukan diagnosa pada kasus demam tiga hari tanpa ada gejala lain.

Tapi masak sih nggak diapa-apain. Dikasih obat juga enggak! Huh! Dokter Belanda memang keterlaluan!* Aku betul-betul menahan kesal.

*"Obat penurun panas Dok?" *tanyaku lagi. *"Actually that is not necessary if the fever below 40 C."** Waks! Nggak perlu dikasih obat panas? Kalau anakku kenapa-kenapa memangnya dia mau nanggung?â€* Kesalku kian membuncah. Tapi aku tak ingin ngeyel soal obat penurun panas. Sebetulnya di rumah aku sudah memberi Malik obat penurun panas, tapi aku ingin dokter itu memberi obat jenis lain. Sudah lama kudengar bahwa dokter disini pelit obat. Karena itu aku membawa setumpuk obat-obatan dari Indonesia, termasuk obat penurun panas.

Dua hari kemudian, demam Malik tak kunjung turun dan frekuensi muntahnya juga bertambah. Aku segera kembali ke dokter. Tapi si dokter tetap menyuruhku *wait and see*. Pemeriksaan laboratorium baru akan dilakukan bila panas anakku menetap hingga hari ke tujuh. *"Anakku ini suka muntah-muntah juga Dok," *kataku. Lalu si dokter menekan-nekan perut anakku. *"Apakah dia sudah minum suatu obat?" *

* * Aku mengangguk. "Ibuprofen syrup Dok," jawabku. Eh tak tahunya mendengar jawabanku, si dokter malah ngomel-ngomel, "Kenapa kamu kasih syrup Ibuprofen? Pantas saja dia muntah-muntah. Ibuprofen itu sebaiknya tidak diberikan untuk anak-anak, karena efeknya bisa mengiritasi lambung. Untuk anak-anak lebih baik beri paracetamol saja."

Huuh! Walaupun dokter itu mengomel sambil tersenyum ramah, tapi aku betul-betul jengkel dibuatnya. *Jelek-jelek begini gue lulusanfakultas **kedokteran tau! Nah kalau buat anak nggak baik kenapa di Indonesia obat itu **bertebaran!* Batinku meradang.

Untungnya aku masih bisa menahan diri. Tapi setibanya dirumah, suamiku langsung menjadi korban kekesalanku."Lha wong di Indonesia, dosenku aja ngasih obat penurun panas nggak pake diukur suhunya je. Mau 37 keq, 38 apa 39 derajat keq, tiap ke dokter dan bilang anakku sakit panas, penurun panas ya pasti dikasih. Sirup ibuprofen juga dikasih koq ke anak yang panas, bukan cuma parasetamol. Masa dia bilang ibuprofen nggak baik buat anak!" Seperti rentetan peluru, kicauanku bertubi-tubi keluar dari mulutku.

"Mana Malik nggak dikasih apa-apa pulak, cuma suruh minum parasetamol doang, itu pun kalau suhunya diatas 40 derajat C! Duuh memang keterlaluan Yah dokter Belanda itu!" Suamiku menimpali, "Lho, kalau Mama punya alasan, kenapa tadi nggak bilang ke dokternya?"

Aku menarik napas panjang. "Hmm…tadi aku sudah kadung bete sama si dokter, rasanya ingin buru-buru pulang saja. Tapi…alasannya apa ya?"

Mendadak aku kebingungan. Aku akui, sewaktu praktek menjadi dokter dulu, aku lebih banyak mencontek apa yang dilakukan senior. Tiga bulan menjadi co-asisten di bagian anak memang membuatku kelimpungan dan belajar banyak hal, tapi hanya secuil-secuil ilmu yang kudapat. Persis seperti orang yang katanya travelling keliling Eropa dalam dua minggu. Menclok sebentar di Paris, lalu dua hari pergi ke Roma. Dua hari di Amsterdam, kemudian tiga hari mengunjungi Vienna. Puas beberapa hari berdiam di Berlin dan Swiss, kemudian waktu habis. Tibalah saatnya pulang lagi ke Indonesia. Tampaknya orang itu sudah keliling Eropa, padahal ia hanya mengunjungi ibukota utama saja. Masih banyak sekali negara dan kota-kota di Eropa yang belum disambanginya. Dan itu lah yang terjadi pada kami, pemuda-pemudi fresh graduate from the oven Fakultas Kedokteran. Malah kadang-kadang apa yang sudah kami pelajari dulu, kasusnya tak pernah kami jumpai dalam praktek sehari-hari. Berharap bisa memberikan resep cespleng seperti dokter-dokter senior, akhirnya kami pun sering mengintip resep ajian senior!

Setelah Malik sembuh, beberapa minggu kemudian, Lala, putri pertamaku ikut-ikutan sakit. Suara Srat..srut..srat srut dari hidungnya bersahut-sahutan. Sesekali wajahnya memerah gelap dan bola matanya seperti mau copot saat batuknya menggila. Kadang hingga bermenit-menit batuknya tak berhenti. Sesak rasanya dadaku setiap kali mendengarnya batuk. Suara uhuk-uhuk itu baru reda jika ia memuntahkan semua isi perut dan kerongkongannya. Duuh Gustiiii…kenapa tidak Kau pindahkan saja rasa sakitnya padaku Nyerii rasanya hatiku melihat rautnya yang seperti itu. Kuberikan obat batuk yang kubawa dari Indonesia pada putriku. Tapi batuknya tak kunjung hilang dan ingusnya masih meler saja.

Lima hari kemudian, Lala pun segera kubawa ke *huisart*. Dan lagi-lagi dokter itu mengecewakan aku. *"Just drink a lot,"* katanya ringan. Aduuuh Dook! Tapi anakku tuh matanya sampai kayak mata sapi melotot kalau batuk, batinku kesal"Apa nggak perlu dikasih antibiotik Dok?" tanyaku tak puas. *"This is mostly a viral infection, no need for an antibiotik,"*jawabnya lagi.

* Ggrh…gregetan deh rasanya. Lalu ngapain dong aku ke dokter, kalo tiap ke dokter pulang nggak pernah dikasih oba*t. Paling enggak kasih vitamin keq! omelku dalam hati.





* "Lalu Dok, buat batuknya gimana Dok? Batuknya tuh betul-betul

terus-terusan,"* kataku ngeyel.



Dengan santai si dokter pun menjawab,"Ya udah beli aja obat batuk

Thyme syrop. Di toko obat juga banyak koq."

Hmm…lumayan lah… kali ini aku pulang dari dokter bisa membawa obat, walau itu pun harus dengan perjuangan ngeyel setengah mati dan walau ternyata isi obat Thyme itu hanya berisi ekstrak daun thyme dan madu.

"Kenapa sih negara ini, katanya negara maju, tapi koq dokternya kayak begini." Aku masih saja sering mengomel soal *huisart* kami kepada suamiku.

Saat itu aku memang belum memiliki waktu untuk berintim-intim dengan internet. Jadi yang ada di kepalaku, cara berobat yang betul adalah seperti di Indonesia. Di Indonesia, anak-anakku punya langganan beberapa dokter spesialis anak. Dokter-dokter ini pernah menjadi dosenku ketika aku kuliah. Maklum, walaupun aku lulusan fakultas kedokteran, tapi aku malah tidak pede mengobati anakanakku sendiri. Dan walaupun anak-anakku hanya menderita penyakit sehari-hari yang umum terjadi pada anak seperti demam, batuk pilek, mencret, aku tetap membawa mereka ke dokter anak. Meski baru sehari, dua atau tiga hari mereka sakit, buru-buru mereka kubawa ke dokter. Tak pernah aku pulang tanpa obat. Dan tentu saja obat dewa itu, sang antibiotik, selalu ada dalam kantong plastik obatku.





Tak lama berselang putriku memang sembuh. Tapi sebulan kemudian

ia sakit lagi. Batuk pilek putriku kali ini termasuk ringan, tapi hampir

dua



bulan sekali ia sakit. Dua bulan sekali memang lebih mendingan karena di

Indonesia dulu, hampir tiap dua minggu ia sakit. Karena khawatir ada yang tak beres, lagi-lagi aku membawanya ke *huisart*.

"Dok anak ini koq sakit batuk pilek melulu ya, kenapa ya Dok." Setelah mendengarkan dada putriku dengan stetoskop, melihat tonsilnya, dan lubang hidungnya,*huisart-*ku menjawab,*"Nothing to worry. Just a viral infection."*

* *
*Aduuuh Doook… apa nggak ada kata-kata lain selain viral infection seh! * Lagilagi aku sebal. "Tapi Dok, dia sering banget sakit, hampir tiap sebulan atau dua bulan Dok," aku ngeyel seperti biasa.Dokter tua yang sebetulnya baik dan ramah itu tersenyum. *"Do you know how many times normally children get **sick every year?"*

* * Aku terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. "enam kali," jawabku asal. *"Twelve time in a year, researcher said,"* katanya sambil tersenyum lebar. "Sebetulnya kamu tak perlu ke dokter kalau penyakit anakmu tak terlalu berat," sambungnya.

Glek! Aku cuma bisa menelan ludah. Dijawab dengan data-data ilmiah seperti itu, kali ini aku pulang ke rumah dengan perasaan malu. Hmm…apa aku yang salah? *Dimana salahnya?* Ah sudahlah…barangkali si dokter benar,barangkali memang aku yang selama ini kurang belajar.

 



***





Setelah aku bisa beradaptasi dengan kehidupan di negara Belanda, aku

mulai berinteraksi dengan internet. Suatu saat aku menemukan



artikel milik Prof. Iwan Darmansjah, seorang ahli obat-obatan dari Fakultas

Kedokteran UI. Bunyinya begini: "Batuk - pilek beserta demam yang terjadi

sekali-kali dalam 6 - 12 bulan sebenarnya masih dinilai wajar. Tetapi

observasi menunjukkan bahwa kunjungan ke dokter bisa terjadi setiap 2 - 3

minggu selama bertahun-tahun." *Wah persis seperti yang dikatakan huisartku

*, batinku. Dan betul anak-anakku memang sering sekali sakit sewaktu di

Indonesia dulu.





"Bila ini yang terjadi, maka ada dua kemungkinan kesalahkaprahan dalam

penanganannya," Lanjut artikel itu. "Pertama, pengobatan yang diberikan

selalu mengandung antibiotik. Padahal 95% serangan batuk pilek dengan atau

tanpa demam disebabkan oleh virus, dan antibiotik



tidak dapat membunuh virus. Di lain pihak, antibiotik malah membunuh kuman

baik dalam tubuh, yang berfungsi menjaga keseimbangan dan menghindarkan

kuman jahat menyerang tubuh. Ia juga mengurangi imunitas si anak, sehingga

daya tahannya menurun. Akibatnya anak jatuh sakit setiap 2 - 3 minggu dan

perlu berobat lagi.



Lingkaran setan ini: sakit –> antibiotik-> imunitas menurun -> sakit lagi,



akan membuat si anak diganggu panas-batuk-pilek sepanjang tahun, selama

bertahun-tahun."





Hwaaaa! Rupanya ini lah yang selama ini terjadi pada

anakku. Duuh…duuh..kemana saja aku selama ini sehingga tak

menyadari kesalahan yang kubuat sendiri pada anak-anakku.

Eh..sebetulnya..bukan salahku dong. Aku kan sudah membawa mereka ke dokter

spesialis anak. Sekali lagi, mereka itu dosenku lho! Masa sih aku tak

percaya kepada mereka. Dan rupanya, setelah di Belanda 'dipaksa' tak

lagi pernah mendapat antibiotik untuk penyakit khas anak-anak

sehari-hari, sekarang kondisi anak-anakku jauh lebih baik. Disini, mereka

jadi jarang sakit, hanya diawal-awal kedatangan saja mereka sakit.





Kemudian, aku membaca lagi artikel-artikel lain milik prof

Iwan Darmansjah. Dan di suatu titik, aku tercenung mengingat

kata-kata 'pengobatan rasional'. Lho…bukankah dulu aku juga

pernah mendapatkan kuliah tentang apa itu pengobatan rasional. Hey!

Lalu kemana perginya ingatan itu? Jadi, apa yang selama ini kulakukan, tidak

meneliti baik-baik obat yang kuberikan pada anak-anakku, sedikit-sedikit

memberi obat penurun panas, sedikit-sedikit memberi antibiotik, baru sehari

atau dua hari anak mengalami sakit ringan seperti, batuk, pilek, demam,

mencret, aku sudah panik dan segera membawa anak ke dokter, serta

sedikit-sedikit memberi vitamin. Rupanya adalah tindakan yang sama

sekali tidak rasional! Hmm...kalau begitu, sistem kesehatan di Belanda

adalah sebuah contoh sistem yang menerapkan betul apa itu pengobatan

rasional.





Belakangan aku pun baru mengetahui bahwa ibuprofen memang lebih efektif

menurunkan demam pada anak, sehingga di banyak negara termasuk Amerika

Serikat, ibuprofen dipakai secara luas untuk anakanak. Tetapi karena resiko

efek sampingnya lebih besar, Belgia dan Belanda menetapkan kebijakan lain.

Walaupun obat ibuprofen juga tersedia di apotek dan boleh digunakan untuk

usia anak diatas 6 bulan,



namun di kedua negara ini, parasetamol tetap dinyatakan sebagai obat pilihan

pertama pada anak yang mengalami demam. "Duh, untung ya



Yah aku nggak bilang ke *huisart* kita kalo aku ini di Indonesia

adalah seorang dokter. Kalo iya malu-maluin banget nggak sih,

ketauan begonya hehe," kataku pada suamiku.





***





Jadi, bagaimana dengan para orangtua di Indonesia? Aku tak

ingin berbicara terlalu jauh soal mereka-mereka yang tinggal di desa

atau orang-orang yang terpinggirkan, ceritanya bisa lain. Karena

kekurangan dan ketidakmampuan, untuk kasus penyakit anak sehari-hari,

orang-orang desa itu malah relatif 'terlindungi' dari paparan obat-obatan

yang tak perlu. Sementara kita yang tinggal di kota besar, yang

cukup berduit, sudah melek sekolah, internet dan pengetahuan,

malah kebanyakan selalu dokter-minded dan gampang dijadikan sasaran

oleh perusahaan obat dan media. Batuk pilek sedikit ke dokter, demam sedikit

ke dokter, mencret sedikit ke dokter. Kalau pergi ke dokter lalu tak diberi

obat, biasanya kita malah ngomel-ngomel, 'memaksa' agar si dokter

memberikan obat. Iklan-iklan obat pun bertebaran di media, bahkan tak

jarang dokter-dokter 'menjual' obat tertentu melalui media. Padahal mestinya

dokter dilarang mengiklankan suatu produk obat.





Dan bagaimana pula dengan teman-teman sejawatku dan dosen-dosenku yang

kerap memberikan antibiotik dan obat-obatan yang tidak perlu pada pasien

batuk, pilek, demam, mencret? Malah aku sendiri dulu pun melakukannya karena

nyontek senior. Apakah manfaatnya lebih besar dibandingkan resikonya? Tentu

saja tidak. Biaya pengobatan membengkak, anak malah gampang sakit dan

terpapar obat yang tak perlu. Belum lagi bahaya besar jelas mengancam

seluruh umat manusia: superbug, resitensi antibiotik! Tapi mengapa semua itu

terjadi?





Duuh Tuhan, aku tahu sesungguhnya Engkau tak menyukai sesuatu yang

sia-sia dan tak ada manfaatnya. Namun selama ini aku telah alpa.



Sebagai orangtua, bahkan aku sendiri yang mengaku lulusan

fakultas kedokteran ini, telah terlena dan tak menyadari semuanya. Aku tak

akan



eling kalau aku tidak menyaksikan sendiri dan tidak tinggal di

negeri kompeni ini. Apalagi dengan masyarakat awam, para orangtua baru yang

memiliki anak-anak kecil itu. Jadi bagaimana mengurai keruwetan ini

seharusnya? Uh! Memikirkannya aku seperti terperosok ke lubang raksasa

hitam. Aku tak tahu, sungguh!





Tapi yang pasti kini aku sadar…telah terjadi kesalahan paradigma

pada kebanyakan kita di Indonesia dalam menghadapi anak sakit. Disini aku



sering pulang dari dokter tanpa membawa obat. Aku ke dokter biasanya 'hanya'

untuk konsultasi, memastikan diagnosa penyakit anakku dan penanganan

terbaiknya, serta meyakinkan diriku bahwa anakku baik-baik saja. Tapi di

Indonesia, bukankah paradigma yang masih kerap dipegang adalah ke dokter =

dapat obat? Sehingga tak jarang dokter malah tidak bisa bertindak rasional

karena tuntutan pasien. Aku juga sadar sistem kesehatan di Indonesia memang

masih ruwet. Kebijakan obat nasional belum berpihak pada rakyat. Perusahaan

obat bebas



‗beraksi‘ tanpa ada peraturan dan hukum yang tegas dari pemerintah. Dokter

pun ‗bebas‘ meresepkan obat apa saja tanpa ngeri mendapat



sangsi. Intinya, sistem kesehatan yang ada di Indonesia saat ini membuat

dokter menjadi sulit untuk bersikap rasional.


Lalu dimana ujung pangkal salahnya? Ah rasanya percuma mencari-cari ujung pangkal salahnya. Menunjuk siapa yang salah pun tak ada gunanya. Tapi kondisi tersebut jelas tak bisa dibiarkan. Siapa yang harus memulai perubahan? Pemerintah, dokter, petugas kesehatan, perusahaan obat, tentu semua harus berubah. Namun, dalam kondisi seperti ini, mengharapkan perubahan kebijakan pemerintah dalam waktu dekat sungguh seperti pungguk merindukan bulan. Yang pasti, sebagai pasien kita pun tak bisa tinggal diam. Siapa bilang pasien tak punya kekuatan untuk merubah sistem kesehatan? Setidaknya, bila pasien 'bergerak', masalah kesehatan di Indonesia, utamanya kejadian pemakaian obat yang tidak rasional dan kesalahan medis tentu bisa diturunkan.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Yasmin Baby Shop Copyright © 2009 Baby Shop is Designed by Ipietoon Sponsored by Emocutez